Hari kamis lalu (12 Muharram 1433), seorang karib saya “setengah” mengadu kepada saya lewat jejaring sosial. Dia merasa tak kuat menghadapi cobaan yang datang silih berganti ketika dia giat-giatnya mengecap ilmu pengetahuan di masa muda. Seringkali dia berharap bisa mengambil hikmah dari berbagai penyakit yang menerpa. Saya, sebagai sahabat hanya bisa sedikit menghibur, memberi saran semampu saya, agar karib saya itu lebih fresh, tambah semangat dan menjalani hidupnya lebih bermakna, padat berisi dengan pondasi full ibadah dan niat ikhlas karena-Nya.
Terjemah Surat Al Ankabuut: 1-3
1. Alif laam miim 2. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? 3. dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.)QS. Al Ankabuut:1-3)
Dengan menyebut asma Allah… Kita ulas sedikit awal surat Al Ankabuut, di mana Allah langsung meng-KO suudhon-nya orang-orang munafiq yakni mereka yang berlabel islam tapi kualitas kafir, -mereka berpikir- bahwa tak ada bedanya menjadi orang islam atau tetap kafir. Sama-sama mendapat cobaan dan kesulitan dalam hidup, tapi yang islam harus jungkir balik lima kali sehari sebagai cara beribadah. Maka redaksi “an naas” digunakan Allah sebagai sindiran bagi kita. Kata manusia dalam volume jamak tersebut mengandung pengertian bahwa mayoritas manusia (kalau tidak bisa disebut semuanya) menyangka dengan prasangka yang tidak benar kepada Allah, tentang takdir dan rizki yang diberikan-Nya pada mereka. Coba ingatlah, berapa kali dan berapa saja kawan muslim kita yang mengeluh-curhat- pada kita tentang kesulitan hidupnya, bahkan sebelum dia curhat pada Rabbnya?
Sebentar…
Pernahkah kita mengamati proses rekrutmen jurnalis di berbagai media massa, utamanya media cetak? Di sana ada proses pelamaran kerja, lalu tes dan interview kemudian ada masa magang beberapa bulan bagi mereka yang diterima. Dalam masa itu, ada standarisasi kualitas, dedikasi, teamwork dan optimalisasi kerja yang dapat dicapai. Pun, setelah mereka menjadi juru berita yang resmi, ujian kerap menerpa, mulai dari perlakuan kasar di lapangan, gaji yang tak setimpal dengan perjuangan berdarah-darah, atau kesempatan karir yang terbatas. Setelah direnungi, mereka yang diterima itu bukan karena obralan janji-janji kesetiaan dan omongan kosong belaka juga bukan karena skill individu yang istimewa, tapi karena bukti-bukti nyata yang didapat dari hasil kerja keras dan teamwork yang optimal, Ditambah dengan kesadaran penuh akan tugas yang diemban, disertai peningkatan kualitas kepribadian.
Coba kita bandingkan…kita ubah sedikit sudut pandang kita…
Ada kesamaan… Ketika Allah meminta kita meng-iman-i keberadaan-Nya dan kedudukan-Nya sebagai Sang Pencipta dan Tuhan tiada dua, maka rukun iman yang diucapkan oleh lisan tak akan cukup membentengi diri dari godaan intern dan ekstern. Iman dengan 6 pilar harus diimbangi dengan 5 dinding keislaman dengan satu atap kukuh bernama keikhlasan. Jadilah sebuah bangunan kokoh dengan harmoni tauhid dan berwarna cinta yang saya namakan “bunyanan hanifa”. Cobaan-cobaan yang datang adalah bentuk cinta Tuhan dan curahan perhatian dari-Nya dengan tujuan “memberi tahu” pada insan lain tentang kualitas iman insan yang terkena cobaan, sehingga menjadi ibroh dan teladan yang nyata bagi siapa saja yang memilih tetap beriman pada-Nya. Kesaksian orang-orang mukmin akan sifat dan tingkah laku orang-orang fasiq & munafiq kelak pada hari kiamat adalah sebuah “hujjah balighoh” yang dipersiapkan Allah untuk menundukkan muka orang-orang yang mengingkarinya, sedang lisan mereka sendiri sudah tidak bisa bicara lagi. Maka pengadilan Allah yang adil tanpa suap dan kongkalikong, adalah sebuah kenyamanan yang sempurna, janji Allah bagi kita yang tetap beriman pada-Nya walaupun berbagai cobaan mendera.
Dalam praktik kehidupan kita sehari-hari, sebenarnya Allah tak perlu menguji keimanan manusia, karena Allah Maha Mengetahui kadar iman dan seluk beluk hati masing-masing hamba-Nya. Redaksi kalimat “supaya Allah benar-benar mengetahui [siapa saja] orang-orang yang jujur dan orang-orang yang dusta” atau yang dianalogikan dalam redaksi ayat lainnya: “orang-orang yang beriman dan orang-orang yang munafiq”, adalah sebuah kalam majazi, ketika Allah mencoba memahamkan manusia akan ketentuan/sunnah Allah dengan bahasa/kebiasaan mereka. Sama halnya ketika manajer atau bos sebuah harian yang memberi reward bagi jurnalis padat karya atau punishment bagi yang nihil karya, Allah, setelah mengumumkan hasil “tes kejujuran” akan merealisasikan janjinya, yakni pahala berlipat di akhirat dan ketenangan hati di dunia sebagai reward bagi mereka yang “jujur”. Sebaliknya, siksa dan laknat di akhirat dan kesusahan hati (cinta dunia tanpa batasan) sebagai punishment bagi mereka yang “dusta”.
Semoga kita selalu dapat meneladani mereka yang “jujur” dan kuat imannya serta member keteladanan bagi generasi muda ke depan, sehingga “bunyanan hanifa” tetap terpancang kuat di semesta fana hingga datangnya hari dimana pengakuan iman sudah tiada berguna. Robbanaa….iftah bainanaa wa baina qouminaa bil haqq…wa anta khoirul faatihiin.
Kudus, 15 Muharram 1433 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar